Day 40 : Mengulas "Pelarian" Cerpen Karya Anisa Sustianing
Pelarian
Oleh: Anisa Sustianing
“Mbak ... minta sedekahnya, Mbak ....”
Kuangkat kepala dan menghapus tetesan air dari pipi. Sedikit terkejut menyadari lelaki paruh baya berbaju dekil dan menggunakan tongkat sudah berada di hadapanku. Tanpa menunggu lama, kubuka saku depan tas. Selembar pecahan dua ribuan kuulurkan ke tangannya.
“Terima kasih, Mbak.”
Lelaki tersebut tampak heran melihat mata sembabku, namun tak kuhiraukan tatapannya. Seperti halnya tak kuhiraukan tatapan orang yang berlalu lalang di terminal ini. Kulihat jam di layar ponsel, sepuluh menit lagi bus yang akan kutumpangi berangkat. Sudah kubulatkan tekad untuk pergi. Pergi ke mana pun asal hilang dari pandangan mereka yang mengenalku.
Ayah ... Ibu ... maafkan Mira. Tak terasa air mata kembali menggenang. Sedih, galau, takut, bercampur menjadi satu. Aku tak tahu apakah yang kulakukan benar atau salah. Yang kupikirkan sekarang hanya ingin orangtuaku tidak mengetahui apa yang telah terjadi.
Bayangan peristiwa dua tahun lalu yang menimpa Tuti, tetanggaku, kembali melintas. Saat itu aku begitu ketakutan melihat keributan yang terjadi. Tuti diamuk dan ditampar sekuat tenaga oleh ayahnya karena hamil di luar nikah. Tuti yang masih terhitung saudaraku hamil karena pergaulan yang sangat bebas. Bahkan, ibunya sendiri bangga karena anaknya memiliki banyak teman.
“Kamu jangan kayak Tuti, ya, Nak. Biarlah kamu dikatakan kuper, pergaulan di luar sana sangat berbahaya kalau nggak pandai jaga diri.” Masih terngiang nasihat Ibu kala kami mendengar keributan itu. Aku tahu Ibu pun sangat terkejut dengan apa yang terjadi.
“Iya, Bu,” jawabku singkat.
“Kalau sampai kamu hamil di luar nikah, itu sama saja kamu menimpakan kotoran ke muka Ibu,” kata Ibu kemudian.
Sungguh, kalimat yang selalu terngiang. Aku yang kala itu merasa benar-benar menjadi anak rumahan tidak terlalu terbebani dengan pesan ibuku. Hal yang pasti bisa kuhindari, karena berteman dekat dengan laki-laki pun tidak. Apalagi sampai melakukan pergaulan bebas.
Ah, tapi itu dulu. Kini semuanya telah berubah ketika aku mulai bekerja selepas SMA. Ijazah SMA yang kupunyai hanya bisa mengantarkanku bekerja di sebuah pabrik, sebuah industri kecil di kota kecamatan. Perjalanan pulang pergi ke tempat kerja membuatku sering berinteraksi dengan banyak orang. Termasuk seorang lelaki yang cukup sering kutemui di lingkungan tempat kerja. Hingga hubungan itu tercipta ....
“Ayo naik! Naik! Naik ...!” Lengkingan suara kondektur bus menghentikan lamunan.
Segera kuberanjak dari bangku kayu yang sedari tadi kududuki. Kulangkahkan kaki menuju armada bus AKDP kelas ekonomi yang baru pertama kali kunaiki ini. Beberapa orang yang masih sibuk membeli penganan di warung makan buru-buru menyelesaikan transaksinya. Ada pula yang baru selesai mendapatkan tiketnya dan segera mengisi bangku kosong di angkutan ini. Suasana khas terminal yang sebenarnya sangat asing bagiku, namun kali ini terpaksa kujejakkan kaki di tempat ini.
Perlahan bus meluncur meninggalkan terminal. Aku harap dengan menaikinya aku bisa meninggalkan semuanya. Semua hal yang tak ingin kuhadapi.
Kupejamkan mata berusaha menguatkan diri. Bayangan Ayah, Ibu, dan semua keluarga membuat dadaku kembali sesak. Apakah mereka akan mencariku? Aku sang putri kesayangan yang mereka anggap gadis kuper telah melakukan dosa besar. Perbuatan yang mungkin membuat mereka tidak akan percaya jika aku telah melakukannya.
Cih, kemana laki-laki itu? Kemana dia yang telah menanamkan benih di rahimku?
Marah, benci, dan dendam seketika memenuhi jiwaku mengingat wajah lelaki itu. Dia yang selalu mendekatiku ketika jam istirahat kerja. Begitu lihainya dia melakukan berbagai cara untuk mengakrabkan diri. Hingga kebiasaan bertemu membuatku sedikit luluh. Perasaan yang awalnya sebal menjadi terbiasa dengan kehadirannya. Hatiku pun sedikit memiliki rasa simpati kepadanya.
Dua tahun terbiasa bertemu membuatku bergantung kepadanya. Dia yang selalu ada ketika aku membutuhkan bantuan. Dia bagaikan malaikat penolong yang selalu bisa diandalkan. Aku terperdaya rayuannya, padahal aku tahu dia lelaki beristri. Kami menjalin hubungan terlarang, hingga suatu hari aku menyerahkan mahkota paling berhargaku. Tetapi, untuk meminta pertanggungjawabannya, aku tak sanggup. Aku tak mau merusak rumah tangga orang lain karena kebodohanku ... bermain api.
“Mau kemana, Dek?” Wanita di sebelahku membuka percakapan.
“Ke rumah saudara, Bu,” jawabku asal. Ah, lagi pula saudara siapa? Aku bahkan tak tahu harus kemana.
“Rumah saudaranya di mana?” lanjutnya kemudian.
“Di ... di ....” Aku tak kuasa melanjutkan ucapan. Kembali perasaan sedih, galau, dan takut menyerangku.
“Sepertinya kamu sakit, Dek. Wajahmu pucat.”
Sebuah senyum kucoba gariskan untuk menyembunyikan air mata yang hendak menetes kembali. Dalam hati aku pun lega karena tidak perlu mengarang jawaban kepadanya.
Bus terus saja meluncur membelah jalanan. Berbagai pemandangan telah silih berganti dilalui. Persawahan, rumah penduduk, pasar, perkebunan kelapa, hingga area pemakaman. Beberapa kali terhenti ketika para penumpang turun di tempat tujuan mereka. Ah, sial. Rasanya penyakit lamaku kambuh. Panas dingin melanda tubuh, keringat mengucur dengan deras, air liur terasa asam, dan sepeti ada yang hendak keluar dari perutku.
“Bang! Aku turun di sini!” Aku bangkit berdiri dan setengah berteriak memberi instruksi kepada kernet bus.
“Nggak salah, Neng? Di sini mana ada rumah?”
“Nggak, Bang. Bener, aku mau turun di sini.”
Kernet bus pun memberi isyarat kepada supir untuk menghentikan laju bus. Aku segera melompat dari bus. Seketika kumutahkan segala isi perut, menuntaskan mabuk perjalanan yang melanda. Hingga tak kusadari di mana kini berada. Kuedarkan pandang ke sekeliling, hanya ada pepohonan yang berputar. Terus berputar, dan akhirnya, hanya gelap yang kulihat.
***
“Kamu sudah sadar?”
Sayup-sayup kedengar suara di sampingku. Siapa yang menyapaku? Susah payah kucoba menstabilkan posisiku, mengingat-ingat apa yang terjadi. Perlahan kubuka mata dan menoleh ke sumber suara. Sepertinya aku pernah melihatnya.
“Aku orang yang duduk di sampingmu ketika di bus tadi.” Wanita itu seperti tahu apa yang kupikirkan.
“Oh, Ibu. Kenapa aku bisa ada di sini?” tanyaku, “Dan kenapa Ibu ....”
“Ini rumahku, dan aku yang membawamu ke sini.”
Aku tak bisa melanjutkan kata-kata. Kurasakan tubuhku sangat lemah. Wanita di depanku bangkit berdiri. Diambilnya satu strip obat dari sebuah lemari di sudut ruangan, dan segelas air dari dispenser di samping lemari. Tak berapa lama, ia berjalan ke arahku dan memberi isyarat agar meminumnya.
Sedikit ragu aku menerima, namun tak segera meminumnya.
“Kenapa? Kamu dehidrasi dan wajahmu sangat pucat. Atau ada hal lain yang kamu rasakan?” tanyanya melihat reaksiku, “Jangan khawatir, aku ini dokter.”
Kupandangi ruangan yang berwarna serba putih ini. Nampaknya benar dia seorang dokter, ruangan tempatku berada adalah ruangan praktiknya di rumah. Darinya kutahu kalau aku pingsan di pinggir jalan setelah mabuk. Dia mengikutiku turun, beberapa meter setelah aku turun dari bus.
“Namaku Sarah, siapa namamu?” lanjutnya.
“Mira.”
“Nah, Mira, istirahatlah sebentar, aku ada urusan sebentar.”
Kucoba untuk duduk. Dalam hati aku bersyukur, ada orang baik yang peduli padaku. Apa jadinya jika tidak ada yang menolongku. Bodohnya aku tidak berpikir panjang, hanya ingin melompat dari bus saat mabuk perjalanan tadi. Perlahan aku beringsut ke pinggir ranjang, mencoba turun, dan berjalan untuk ke luar ruangan.
Dengan hati-hati kubuka gagang pintu. Rupanya aku berada di sebuah klinik mungil yang terpisah dari rumah utama. Antara rumah dengan klinik hanya berjarak sebuah taman kecil. Aku sama sekali tak mengenal tempat ini, rasanya sudah terlalu jauh aku pergi dari tempat asalku.
Ayah ... Ibu ... nyata sudah Mira pergi jauh. Tak kukira, kekhilafanku berbuah kesengsaraan. Seandainya saja aku tidak hamil, aku tidak perlu kabur dari rumah seperti ini, terpisah dari orangtua. Padahal, aku ada adalah si bungsu yang paling disayang oleh mereka. Aku tak bisa membayangkan reaksi Ibu kini, menyadari aku telah pergi dari rumah.
***
Dua minggu sudah aku berada di rumah Bu Sarah. Rumah yang tidak terlalu besar, namun lengkap dengan fasilitas. Bu Sarah hanya tinggal bersama dua orang anaknya dan seorang pembantu rumah tangga. Wanita yang masih terlihat cantik sekalipun tidak lagi muda itu selalu berangkat bekerja dan hanya berada di rumah saat malam. Sedangkan anak-anaknya tidak berbeda jauh darinya, berangkat pagi dan pulang di sore hari karena sibuk les tambahan.
Bu Sarah orang yang sangat baik, rendah hati, dan low profile. Padanya kuceritakan keadaanku, dan dia bersedia menerimaku hingga semuanya kondusif. Sejauh ini aku belum melihat suaminya. Menurut penuturan pembantu, suaminya mengurusi kerja sama bisnis di luar kota. Biasanya dua minggu sekali pulang ke rumah. Aku sendiri tak mau tahu, karena itu bukan urussanku.
Pintu gerbang terbuka saat aku sedang berada di halaman rumah bersama Bu Sarah, menikmati suasana sore. Sebuah mobil yang tak pernah kulihat berada di rumah ini, bergerak memasuki halaman.
“Eh, itu Papa udah pulang.” Bu Sarah terlihat riang menyambut kedatangannya.
Seorang lelaki keluar dari dalam mobil. Kurasakan jantung berdebar melihat sesosok tubuh itu. Hanya beberapa detik kemudian, wajahnya dapat kulihat. Dunia seakan berhenti berputar ketika pandangan mata kami bertemu. Dia, orang yang sama yang membuatku pergi dari rumah.
Selanjutnya, hanya gelap yang bisa kulihat.
Tuhan ... kemanakah aku harus pergi lagi?
Ketika saya membaca judul cerpen ini saya menerka-nerka ini akan menjadi cerpen romansa, di mana tokoh utamanya yang patah hati lalu mencari pelarian pada orang lain, akan tetapi ketika membaca keseluruhan isi cerita saya dibuat terpukau dengan ending cerita yang tidak di duga-duga, sangat menarik sekali. Setelah membaca cerpen berjudul Pelarian yang di tulis Mbak Anisa Sustianing tanpa berpikir panjang saya langsung yakin akan mengulas cerpen beliau. Mohon izin ya Mbak.
Dalam mengulas sebuah cerpen, ada hal-hal yang perlu diperhatikan seperti unsur-unsur yang ada dalam cerpen. Ada yang tahu apa saja unsur-unsur di dalam cerpen? Mungkin teman-teman sudah pernah dengar ya, benar unsur-unsur itu tak lain dan tak bukan adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Yuk kita bahas satu persatu. Sebelumnya, jika ulasan saya kurang berkenan mohon dapat dimaafkan karena masih dalam tahap belajar.
Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema merupakan ide/gagasan yang melatarbelakangi sebuah cerpen itu tercipta, berdasarkan dari cerpen di atas saya merasa penulis ingin mengangkat tema akibat pergaulan bebas karena jika di lihat dari kutipan di bawah ini seperti mengarahkan ke tema yang saya sebutkan di atas. Apa yang terjadi pada tokoh utama dalam cerpen ini juga akibat dari pergaulan bebas.
Kutipan 1
Tuti diamuk dan ditampar sekuat tenaga oleh ayahnya karena hamil di luar nikah. Tuti yang masih terhitung saudaraku hamil karena pergaulan yang sangat bebas.
Kutipan 2
“Kamu jangan kayak Tuti, ya, Nak. Biarlah kamu dikatakan kuper, pergaulan di luar sana sangat berbahaya kalau nggak pandai jaga diri.”
2. Tokoh dan Penokohan
Ada empat macam tokoh dalam sebuah cerita; protagonis yaitu tokoh utama yang bersifaf baik, antagonis yaitu tokoh utama yang memiliki sifat berbanding terbalik dengan tokoh protagonis, Tritagonis yaitu tokoh yang menjadi penengah antara protagonis dan antagonis, dan yang terakhir adalah tokoh figuran yang menjadi pemeran pendukung dalam cerita. Masing-masing tokoh ini digambarkan dengan dua cara penokohan yaitu secara analitik yaitu secara langsung dan secara dramatik yaitu secara tersirat.
Ada beberapa tokoh yang terdapat dalam cerpen "Pelarian", yang pertama Mira gadis lugu yang hamil oleh lelaki beristri, yang kedua Sarah, seorang dokter mapan memiliki keluarga bahagia dan baik hati, yang ketiga pria yang menghamili Mira dan Suami Bu Sarah, dan tokoh-tokoh lain baik yang diceritakan Mira dalam narasinya maupun yang bertemu dengannya selama perjalanan yaitu, ayah, ibu, pengemis, kondektur, kernet, dan pembantu Bu Sarah.
Dari masing-masing tokoh tersebut menurut saya Mira adalah tokoh protagonis dalam cerpen ini karena meski ia terpedaya oleh lelaki yang telah menghamilinya, ia tidak berusaha meminta pertanggungjawaban pada lelaki beristri tersebut dan memilih untuk pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Bu Sarah dalam cerpen ini adalah tokoh Tritagonis menurut saya karena ia sangat baik hati dan bijaksana sehingga mau menerima Mira untuk sementara waktu, lain cerita jika cerita ini dilanjut mungkin Bu Sarah akan menjadi tokoh protagonis seperti istri-istri yang ada di sebuah chanel televisi yang bertema Suara hati istri yang tersakiti. Justru menurut saya yang menjadi tokoh antagonis dalam cerpen ini adalah lelaki yang menghamili Mira karena ia secara terselubung memiliki niat tidak baik kepada Mira. Ia pria beristri namun masih mendekati Mira bahkan menghamilinya.
Penokohan dalam cerpen ini pun digambarkan secara analitik. Semua tokoh digambarkan secara secara langsung dalam cerpen ini, seperti Mira yang lugu namun tidak tega. Bu Sarah yang baik, rendah hati dan low profile, dan lelaki beristri yang penuh tipu daya dalam mendapatkan Mira.
3. Alur
Alur merupakan urutan jalan cerita yang disusun secara kronologis. Ada 2 macam Alur yaitu Alur Maju dan Alur Mundur. Alur maju adalah Alur yang disusun secara runtut dari awal sampai akhir sedangkan alur mundur adalah alur yang disusun tidak secara runtut di tengah kisah bisa kemabli ke masa lampau untuk menemukan asal muasal konflik tersebut.
Menurut pendapat saya cerpen ini memiliki alur Maju dan Mundur. Awalnya kisah ini dimulai dengan Mira yang berada di stasiun Bus, ia berniat untuk melarikan diri atau kabur dari kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan fakta ia hamil. Dalam perjalanan ia kembali ke masa lalu mengenang apa yang terjadi sehingga ia dihamili oleh pria beristri. Kemudian ia kembali ke masa sekarang sampai akhir cerita.
4. Setting atau Latar
Setting atau latar ini memuat tiga hal yaitu waktu, suasana, dan tempat terjadinya cerita. Cerpen ini terjadi di sebuah terminal bus dengan suasana yang ramai dan bising karena suara konduktor yang berteriak-teriak menyuruh penumpang naik bus, orang yang sedang membeli jajanan di sekitar stasiun, di dalam bus suasananya tidak terlalu ramai karena masing-masing penumpang fokus pada tujuan masing-masing, dan terakhir di rumah Bu Sarah dengan suasana yang tenang dan damai.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara penulis memandang/menempatkan dirinya dalam cerita. Ada tiga sudut pandang yang biasa kita ketahui, yaitu suddut pandang orang pertama, sudut pandanag orang kedua dan sudut pandang orang ketiga. Menurut saya penulis dalam cerpen ini menggunakan sudut pandang orang pertama, ia menempatkan dirinya sebagai aku adlam cerita, ia mengalami sendiri kisah tersebut.
6. Gaya Bahasa
Penulis menggambarkan keseluruhan cerita dengan diksi yang mudah dipahami secara jelas. Penulis melalui tulisannya juga mampu membuat pembaca bertanya-tanya dalam hati bagaimanakah akhir dari cerita ini dengan menyembunyikan kejutan di akhir cerita.
7. Amanat
Pesan atau amanat yang bisa diambil dari cerpen ini adalah setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak, berani berbuat harus berani bertanggungjawab.
Nah, itu adalah unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen "Pelarian" Karya Mbak Anisa Sustianing. Selanjutnya akan kita bahas mengenai unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam cerpen ini.
Unsur Ekstrinsik
1. Latar Belakang Masyarakat
Dalam cerpen ini saya melihat bahwa yang melatarbelakangi cerpen ini adalah kondisi sosial masyarakat salah satunya adalah pergaulan bebas anak masa sekarang. Dalam cerpen terdapat kutipan bahwa ada tetangga Mira yang hamil di luar nikah karena pergaulannya terlalu bebas, boleh berteman dengan siapa saja namun harus tetap membekali diri dengan pendidikan agama yang juga baik agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang membuat keluarga malu.
2. Latar Belakang Penulis
Mbak Anisa Sustianing ini merupakan seorang ibu yang memiliki dua orang anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Melalui akun instagramnya saya melihat bahwa beliau sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya. Disetiap postingannya pun sering saya lihat ia menulis tentang kegiatan belajar atau pola asuh terhadap buah hatinya. Saya merasa dengan latar belakang penulis yang seorang ibu meberikan peran besar dalam terciptanya cerpen ini, ia memikirkan hal-hal yang terjadi pada anak-anak zaman sekarang, jika tidak didampingi dengan pendidikan yang baik terhadap sosial dan agama maka akan menjerumuskan terhadap pergaulan bebas.
3. Nilai yang Terkandung dalam Cerpen
Berdasarkan cerpen ini saya melihat ada beberapa nilai yang terkandung dalam cerpen ini, diantaranya Nilai Agama yaitu sangat penting menanamkan pendidikan agama kepada anak-anak agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas dan Nilai Sosial yaitu hamil diluar nikah pada anak akan memberikan sangsi sosial seumur hidup bagi keluarga atau anak tersebut.
Itu saja ulasan saya terhadap cerpen yang berjudul "Pelarian" karya Mbak Anisa Sustianing, mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dan semoga berkenan.
Comments
Post a Comment