Day 9 : Melepas Rindu
Seorang lelaki paruh baya tampak tergopoh-gopoh menggendong seorang anak laki-laki yang tampak pucat pasi. Ia langsung menuju ruang Unit Gawat Darurat. Sesampainya dalam ruangan ia segera meletakkan anak laki-laki itu ke atas ranjang pasien yang kosong. Seorang Dokter segera menghampiri dan memeriksa keadaan si pasien.
"Apa yang terjadi dengan anaknya pak?".
"Pingsan Dok, sebelum pingsan ia memegangi perutnya."
"Sebentar, coba saya tekan bagian ini".
Tampak Pak Dokter agak menekan perut bagian bawah anak itu dengan jari tengah dan jari telunjukknya. Tiba-tiba anak itu menunjukkan responnya.
"Wah ini Gastritis pak, sudah kronis tampaknya"
"Apa itu pak?"
"Maag kronis pak, sekarang saya minta bapak siapkan surat-surat administrasinya kita akan rujuk ke rumah sakit besar supaya dapat ditangani dengan baik".
Si bapak terlihat cemas, ada raut ketakutan di wajahnya.
"Sebentar ya pak, saya panggil petugas medis untuk bantu anak bapak pindah ke mobil ambulans".
Tidak sampai sepuluh menit dokter kembali menemui pasien dan betapa terkejutnya ia menemukan si pasien dan ayahnya telah pergi tanpa pamit. Segera ia bertanya pada pasien atau pun petugas medis yang ada disekitar itu mengenai keberadaan pasien yang baru saja ia periksa. Dan tak seorang pun yang ia tanya melihat kepergian pasien yang dimaksud.
Malam itu, tampak seorang ibu-ibu tua berjalan tergesa-gesa menuju sebuah rumah di sudut gang. Setelah memastikan rumah yang akan ia masuki benar ia segera mengetuk dan seseorang membukakan pintu dari dalam.
"Saya berusaha semampu saya loh Pak Budi, karena kelihatannya anaknya bapak sudah agak parah ini sakitnya"
"Lakukan apa saja mbah, supaya anak saya sembuh"
"Iya, bantu doa ya pak"
Sudah berhari-hari pak Budi terjaga demi mengurusi anak laki-laki itu, tangannya terus menggenggam erat. Dalam genggaman itu ada doa agar esok ia segera siuman dan berhasil melalui masa kritis. Dan doanya pun dikabulkan, pagi itu Arya sadar. Pak Budi yang telah lama menantikan kepulihannya pun ikut bahagia dan langsung memeluk erat Arya.
"Aditia, akhirnya kamu sadar juga nak. Berhari-hari ayah menanti kepulihanmu. Ayah tak bisa memaafkan diri ayah kalau kamu pergi meninggalkan ayah lagi nak".
Arya hanya mematung, ia tak mengerti apa yang diucapkan bapak ini. Aditia? Siapa Aditia ini? Siapa bapak ini? Arya berfikir keras mengingat apa yang telah terjadi. Hal yang ia ingat hanyalah tempat pembuangan sampah, apa yang ia lakukan disana? Ingatannya terhenti di sana, ia tak bisa mengingat lagi. Potongan-potongan ingatan itu seperti berhamburan di kepalanya. Ia hanya pasrah, membiarkan bapak itu melepaskan rindunya pada Aditia.
Comments
Post a Comment