Day 10 : Namaku Luka


Tiba-tiba pintu di dobrak paksa dari luar, seorang wanita paruh baya bersama dua orang petugas medis tampak mendampingi. Kami terkejut, dan yang tampak paling ketakutan adalah bapak ini. Setelah menemukan kami si ibu langsung meracau.

"Anak siapa lagi yang kamu bawa yah ... terima saja kenyataannya kalau anak kita sudah pergi", lirih ia terisak sambil berjongkok menggenggam tangan bapak itu.

"Ngomong apa kamu, bu? Sembarangan aja bilang kalau anak kita sudah pergi. Ini Aditia, aku sudah berhasil menemukan anak kita bu, coba tengok", ucapnya gusar.

"Nyebut yah, nyebut ... Aditia anak kita sudah bahagia di sana. Dia bukan anak kita yah ... "bujuk ibu itu.

"Kan sudah aku bilang, kalau aku pasti bisa bawa Aditia pulang lagi. Kalau kamu kayak gini terus, aku pergi aja. Ayo Dit, Ibu mu sudah gak waras lagi"

Tanganku ditarik paksa, padahal kepala ku masih pusing dan berjalan dengan gontai. Aku terjatuh, tubuhku terasa berat.

"Adit!!!! Kamu kenapa nak? Bangun Dit, ayo kita tinggalin Ibumu. Bangun Adit".

"Sudah yah, kasian anak ini. Sepertinya ia kurang sehat." Sambil menarikku kearahnya.

"Lepas!! Kan tadi kamu sendiri yang tidak mau kami pulang kerumah, kenapa sekarang kamu mengurusi kami?"

Seketika itu petugas medis segera memegangi tangan bapak itu dan membawanya ke dalam mobil.
Aku dibopong istri si bapak dan dibawa ke klinik terdekat. Setelah istirahat yang cukup dan diberi makan, si ibu menghampiriku untuk meminta maaf.

"Namamu siapa nak?"

"Arya bu."

"Maafkan suami ibu ya nak, mungkin kamu kebingungan dengan sikapnya yang menganggap kamu adalah anak kami."

Aku terdiam, mendengarkan.

"Tiga bulan yang lalu, kami baru saja kehilangan anak kami Aditia. Di hari ulang tahunnya, ayahnya sudah menyiapkan hadiah yang sudah dijanjikan. Pesta kejutan sudah dipersiapkan untuk Aditia. Akan tetapi Aditia tak pernah pulang dari sekolahnya. Sore harinya kami mendapatkan kabar bahwaw Aditia ditemukan tak bernyawa di dekat pembuangan sampah. Ia di peras preman dan Adit melawan, ternyata preman itu membawa senjata tajam. Ayahnya syok mendengar anak laki-lakinya tewas begitu saja"

Ibu itu tak kuasa menahan tangisnya, ku  genggam erat tangannya dan tangisnya tak lagi terbendung. Sore itu kami saling mengobati luka yang ada dihati dengan saling menguatkan, bahwa semoga hari esok harapan itu masih ada.



Comments

Popular Posts