Day 3 : Kepergiannya

Sesak rasanya melihat ibu sudah terbujur kaku diruang tamu. Sanak saudara tersedu-sedu, tak sedikit yang memandangku dengan tatapan iba. Pertama mereka mendekatiku, lalu mengelus kepalaku kemudian tak kuasa tangisnya pecah sambil terbata-bata berkata, "kasihan kau nak, masih kecil sudah ditinggal ibumu". Aku hanya bisa terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Pagi itu, malaikatku pergi meninggalkanku. Satu-satunya orang yang akan selalu memintaku pulang kerumah karena katanya ia rindu.

Selama 3 bulan terakhir ini, aku tak lagi tinggal di rumah. Aku tinggal di rumah pakde yang sudah menganggapku sebagai anaknya. Aku bekerja sambil bersekolah. Paginya sekolah, siang sampai malam aku membantu ditoko pakde. Kini celenganku sudah ada 3, rencananya 2 buah celengan akan kubuka untuk membeli obat ibu. Belum sempat kubuka celenganku, malam itu aku dijemput untuk pulang kerumah. Katanya ibu ingin bertemu, aku curiga. Sesampainya di rumah, kulihat Ibu seperti sedang menahan rasa sakit yang luar biasa. Ia melambaikan tangannya memberi kode agar aku segera mendekat. Kuambil tangannya lalu ibu seperti membuka mulutnya ingin bicara. Kudekatkan telingaku kemulutnya, "Doakan ibu ya nak, jadi anak soleh ya". Aku mengangguk, tak terasa air mata ku meleleh. Kuambil al-quran sambil mencari surat Yasin dan mulai melantunkan ayat-ayat. Kulihat ibu meringis kesakitan, akan tetapi ia tahan dengan senyum pahit diwajahnya.

Perlahan matahari mulai terbit, menyilaukan pandangan. Aku terjaga dari lelapku dan melihat ibu dihadapanku dengan memakai gamis putih, wajahnya begitu bersih. Ia melambaikan tangan, sayup-sayup kudengar ia berkata, "Jangan lupa doakan ibu ya nak". Aku terbangun mendengar suara ramai, ternyata suara itu berasal dari tangisan sanak saudara. Aku bingung. Tangan Ibu masih dalam genggamanku, tetapi suhu tangannya tak lagi hangat. Aku terpaku sejenak, tak bisa berkata-kata. Ternyata, Ibu telah pergi.

Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Ibu. Aku memang merasa sangat kehilangan ibu, tetapi juga lega. Akhirnya ibu tak lagi merasakan sakitnya. Dua kali sakit yang ia rasakan saat sekarat; Penyakit dan Ayah. Iya, Ayah.

Ibu pernah berkata, "mungkin setiap hari ayahmu mendoakan supaya  ibumu cepat-cepat pergi dis"

"Ibu kok ngomong begitu", protesku sambil menyuapi bubur nasi yang sedari tadi diseruputnya sedikit-sedikit.

"Ibu udah gak tahan lagi dis, melihat kelakuan ayahmu", ujarnya lagi.

"Sudah, Ibu fokus saja supaya cepat sembuh. Nanti kalau sudah sembuh, kita gak usah tinggal di rumah ini lagi. Ibu sama yudis aja. Yudis janji akan bahagiain Ibu". Ucapku, sembari menghentikan suapan.

Ibu berhenti sejenak dan menatapku haru, tampak matanya mulai berkaca-kaca dan akhirnya bulir airmatanya tak mampu lagi ia tahan. Kuusap airmatanya dan tangisnya pecah.

"Meski ibu tak beruntung memiliki suami seperti ayahmu, tapi Ibu merasa sangat bersyukur dan sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu. Yudis harus janji sama Ibu, harus selalu bersyukur ya nak. Meski terkadang hidup kita sulit dan susah. Bersyukur, kita masih bisa berkumpul dengan orang-orang yang kita cinta".

 Pesan Ibu, akan selalu kuingat. Apapun yang terjadi harus selalu bersyukur.
Terima kasih bu, atas kesempatan menjadi anakmu.
Titip dan jaga ibu ya Robb ...
Sampai kami dipertemukan kembali.


Comments

Post a Comment

Popular Posts