#Day9 : Sholawat untuk Abak


Langkahnya terseret-seret menuju mimbar, pelan tapi pasti ia melangkah. Kepalanya masih ditekuk, pertanda ini adalah kali pertama ia berdiri di muka umum. Semua mata tertuju padanya, tak terkecuali mata teduh yang penuh pengharapan bahwa anaknya bisa memberikan yang terbaik pada Festival Sholawat di desanya. Akan tetapi, kakinya mulai bergetar. Ketakutan menghantuinya. Ia melihat kearah wanita dan pria paruh baya sambil menggelengkan kepalanya, pertanda ia menyerah. Pria paruh baya balik menatapnya dengan tajam dan menganggukkan kepalanya tanda ia mampu mengalahkan ketakutannya. Tapi, ia sudah bulat bahwa ia akan menyerah. Ia berlari turun dari mimbar. Keluar dari keramaian. Pria paruh baya itu segera mengejarnya, akan tetapi malang tak dapat ditolak dari arah yang berlawanan sebuah truk melaju dengan kencang dan menabrak pria paruh baya tersebut. Semua orang berhamburan menuju tempat kecelakaan tersebut, begitupun dengannya, ia tersungkur menyesali apa yang telah terjadi.

“Abak ...... !!!”

Kecelakaan di Festival Sholawat itu terjadi tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu Adit menjadi pemurung. Penyesalan terbesarnya adalah ia tak bisa membanggakan abaknya untuk terakhir kalinya.

“Adit, kamu harus bangkit nak”.

“Adit tak tau apa masih bisa ammak”.

“Abakmu percaya pada kemampuan Adit. Hanya abak yang percaya bahwa Adit mampu”.

“Tapi ammak, Adit ... ”.

“Cuma Adit yang bisa melawan ketakutan adit. Adit harus ingat jikalau ketakutanmu lebih besar dari pada dirimu, ingatlah kau masih punya ammak, Abak dan Allah yang akan membantumu dalam doa”

Ammak adit berlalu sambil meninggalkan selembar kertas formulir Lomba Festival Sholawat. Adit menghela napas panjang. Ia raih formulir tersebut, dan ia genggam erat-erat. “Maafkan Adit abak”.

Ia menarik nafas dalam-dalam dan mulai menutup mata. Ketakutan itu muncul lagi. Ia berusaha mengingat-ingat perkataan ammak , “Jikalau ketakutanmu lebih besar dari pada dirimu, ingatlah kau masih punya ammak, abak dan Allah yang akan membantumu dalam doa”. Para juri dan penonton mulai bosan menunggu Adit yang tak kunjung mulai. Sedangkan ammak tak henti-hentinya berdoa agar anak kesayangannya mampu menghadapi ketakutan  untuk kesekian kalinya.

“Sholatullah.... sholamullah ... ‘ ala toha... rosulillah ...”

Dalam sekejap semua mata terbelalak mencari sumber suara nan indah dan merdu tersebut. Semua penonton dan juri terdiam takjub, mendengarkan lantunan Sholawat Badar yang keluar dari mulut mungil itu. Suaranya berbeda dari yang lain, halus menusuk hati siapapun yang mendengarnya. Bahkan beberapa diantara penonton tampak mengusap matanya. Tak ada yang pernah menyangka ia memiliki suara semerdu itu.

Namanya Praditia yang kini menjadi yatim. Seorang anak laki-laki yang tak pernah percaya bahwa suaranya akan menjadi penyejuk hati kedua orang tuanya. Almarhum abaknya sering menyenandungkan sholawat ketika Adit masih dalam kandungan. Abaknya sempat berkata, “Aku berharap nanti anak kita akan menjadi penyejuk hati kita kelak”. Dan apa yang abaknya adit inginkan pun kini menjadi kenyataan, Setelah ia menyelesaikan sholawatnya ramai penonton dan juri bertepuk tangan. Semua mengelu-elukan keindahan suara Adit. Adit hanya termenung melihat gegap gempita sambutan untuknya. Sedangkan ammak, berlari tertatih keatas mimbar memeluk anak kesayangannya.

“Alhamdulillah, Adit berhasil mengalahkan ketakutanmu nak”.

“Iya, ammak ...”.

“Abak pasti senang, mendengar sholawat Adit dari alam sana”.

“Terima kasih abak telah mempercayai Adit, ini semua Adit persembahkan untukmu”.

Comments

Popular Posts