#Day5 : Manisnya Tarawih
Minggu keempat Ramadhan biasanya merupakan minggu rawan bagi Masjid lengang peminat ibu-ibu. Hal ini disebabkan karena pada minggu keempat Ibu-ibu mulai sibuk membuat kue persiapan lebaran. Akan tetapi, minggu keempat Ramadhan adalah minggu dimana anak-anak di desa ku kembali pulang dari sekolahnya untuk menyambut libur Idul Fitri.
Pada minggu keempat Masjid akan mulai ramai diisi oleh anak-anak yang pulang dari perantauan. Akan ada banyak kisah yang hadir di masjid selain dari melaksanakan sholat tarawih, salah satunya aku. Bagiku, sholat tarawih pada minggu keempat akan menjadi begitu istimewa, karena aku akan melihatnya kembali. Ya, pria yang membuatku tetap semangat berangkat tarawih. Pada saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, sejak itulah aku mulai mengaguminya. Syafta Elmir, biasa kupanggil Bang El. Kami terpaut usia delapan tahun, jadi ketika aku masih berusia empat belas tahun bang El sudah dua puluh dua tahun. Bang El sosok yang ramah, ia sering menyapaku karena dia teman SD kakakku. Selain aku mengaguminya karena sosoknya yang ramah, bang El memiliki postur tubuh idealku, tinggi, putih, dan yang paling utama adalah ganteng 😀.
Biasanya pertemuan kami terjadi begitu selesai sholat tarawih pada saat tadarusan, di sana lah aku akan melihatnya mengaji. Selain ikut tadarusan menjadi alasanku dalam mengisi kegiatan Ramadhan, juga alasan agar aku dapat curi-curi pandang dengannya.
Setelah selesai tadarusan kami akan pulang kerumah beramai-ramai. Perjalanan menuju pulang ke rumah menjadi momen paling berharga bagiku untuk dapat berbicara dengannya. Kebetulan juga rumah kami agak berdekatan dan paling ujung, jadi kami akan menjadi peserta paling akhir sampai di rumah. Biasanya jantungku akan mulai tak keruan ketika akan memulai pembicaraan dengannya. Ku lihat ia tengah asyik berbicara dengan teman-temannya, akan tetapi aku sedang berjuang setengah mati untuk mengumpulkan keberanianku mencari topik pembicaraan dengannya. Sampai begitu seriusnya aku berfikir aku pun tak sadar bahwa teman-temanku sudah sampai di rumahnya dan hanya tinggal kami berdua saja. Tiba-tiba ia menepuk pundakku dan berkata, "Dek, lagi mikirin apa? Serius sekali?", sapanya sambil tersenyum. Oh, tuhan... aku berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan dengannya dan ternyata ia duluan yang menyapaku. "Ada yang aneh sama muka abang ya? Kok ngelihatinya kayak gitu dek?", Ucapannya membuyarkan lamunanku. "Eh, enggak apa-apa bang", jawabku sekenanya. "Oh, ya. abang kapan pulang? Udah selesai ya kuliahnya?", tanyaku membuka pembicaraan. "Kemaren, iya udah. Tinggal nunggu wisuda aja lagi", Jawabnya. "Eh ngomong-ngomong kamu tambah tinggi aja,dulu masih kecil-kecil sekarang udah gadis aja, manis lagi", ledeknya. "Gula kali bang manis, hehehe... Eh, gak terasa udah nyampe nih", kataku mengingatkan. "Iya, ya... yaudah... kamu hati-hati ya dek. Sampe ketemu malam besok. Assalamualaikum", ucapnya mengakhiri pembicaraan. "Waalaikum salam ... " Jawabku.
Malam itu, aku gelisah, tak mampu kupejamkan mata ini. kenapa Tarawih tahun ini terasa begitu manis?
Rantau Ikil, 2004.
Pada minggu keempat Masjid akan mulai ramai diisi oleh anak-anak yang pulang dari perantauan. Akan ada banyak kisah yang hadir di masjid selain dari melaksanakan sholat tarawih, salah satunya aku. Bagiku, sholat tarawih pada minggu keempat akan menjadi begitu istimewa, karena aku akan melihatnya kembali. Ya, pria yang membuatku tetap semangat berangkat tarawih. Pada saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, sejak itulah aku mulai mengaguminya. Syafta Elmir, biasa kupanggil Bang El. Kami terpaut usia delapan tahun, jadi ketika aku masih berusia empat belas tahun bang El sudah dua puluh dua tahun. Bang El sosok yang ramah, ia sering menyapaku karena dia teman SD kakakku. Selain aku mengaguminya karena sosoknya yang ramah, bang El memiliki postur tubuh idealku, tinggi, putih, dan yang paling utama adalah ganteng 😀.
Biasanya pertemuan kami terjadi begitu selesai sholat tarawih pada saat tadarusan, di sana lah aku akan melihatnya mengaji. Selain ikut tadarusan menjadi alasanku dalam mengisi kegiatan Ramadhan, juga alasan agar aku dapat curi-curi pandang dengannya.
Setelah selesai tadarusan kami akan pulang kerumah beramai-ramai. Perjalanan menuju pulang ke rumah menjadi momen paling berharga bagiku untuk dapat berbicara dengannya. Kebetulan juga rumah kami agak berdekatan dan paling ujung, jadi kami akan menjadi peserta paling akhir sampai di rumah. Biasanya jantungku akan mulai tak keruan ketika akan memulai pembicaraan dengannya. Ku lihat ia tengah asyik berbicara dengan teman-temannya, akan tetapi aku sedang berjuang setengah mati untuk mengumpulkan keberanianku mencari topik pembicaraan dengannya. Sampai begitu seriusnya aku berfikir aku pun tak sadar bahwa teman-temanku sudah sampai di rumahnya dan hanya tinggal kami berdua saja. Tiba-tiba ia menepuk pundakku dan berkata, "Dek, lagi mikirin apa? Serius sekali?", sapanya sambil tersenyum. Oh, tuhan... aku berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan dengannya dan ternyata ia duluan yang menyapaku. "Ada yang aneh sama muka abang ya? Kok ngelihatinya kayak gitu dek?", Ucapannya membuyarkan lamunanku. "Eh, enggak apa-apa bang", jawabku sekenanya. "Oh, ya. abang kapan pulang? Udah selesai ya kuliahnya?", tanyaku membuka pembicaraan. "Kemaren, iya udah. Tinggal nunggu wisuda aja lagi", Jawabnya. "Eh ngomong-ngomong kamu tambah tinggi aja,dulu masih kecil-kecil sekarang udah gadis aja, manis lagi", ledeknya. "Gula kali bang manis, hehehe... Eh, gak terasa udah nyampe nih", kataku mengingatkan. "Iya, ya... yaudah... kamu hati-hati ya dek. Sampe ketemu malam besok. Assalamualaikum", ucapnya mengakhiri pembicaraan. "Waalaikum salam ... " Jawabku.
Malam itu, aku gelisah, tak mampu kupejamkan mata ini. kenapa Tarawih tahun ini terasa begitu manis?
Rantau Ikil, 2004.
Comments
Post a Comment