#Day14 : Keramik masjid untuk Ibu


Beralaskan tanah berdindingkan kan triplek, rumahku berdiri tepat di belakang masjid besar An-Nur yang mana silih berganti mobil-mobil mewah berhenti untuk sekedar memberikan bantuan. Tak pernah sekalipun mereka melirik rumahku yang sebenarnya lebih butuh bantuan mereka dibandingkan masjid mewah itu. Di tambah lagi sudah hampir sebulan ibuku terbaring lemah, untuk makan sekali sehari pun aku pontang panting mencari uang apalagi untuk membeli obat. Akhirnya kuberikan paracetamol yang dijual warung untuk menurunkan sakit kepala dan panas tubuh ibu.
Suatu hari, aku melihat Marbot masjid sedang memindahkan keramik dari sebuah truk ke dalam gudang. Kuhampiri dan kutawarkan jasaku untuk membantu.

“Bantuan lagi pak?”

“Iya, dari pak mentri katanya”

“Wah, banyak ya pak”

“Iya, padahal kami sudah tidak terlalu membutuhkan keramik lagi. Tapi mereka tetap ngotot mengirimkan. Mana keramiknya yang paling bagus dan mahal lagi. Kalau dipasaran, satu kotak keramik ini dihargai lima ratus ribu rupiah”

“Wah, mahal juga. Kalau tiga kotak dikalikan lima ratus ribu bisa untuk menebus obat ibu” pikirku dalam hati.

 “Oh ya, ini mau disimpan dimana?”

“Di gudang dibelakang masjid saja dek Ammar, terima kasih loh sudah dibantuin”

“Iya pak, sama-sama”

Pikiran itu muncul lagi, jika kujual 3 kotak saja aku bisa menebus obat ibu. Lagi pula mereka tidak akan sadar jika kucuri keramik masjid, karena kulihat tumpukan kotak keramik yang membumbung tinggi itu seperti tak ada rencana akan digunakan. Nanti malam akan kucuri tiga kotak dan akan kujual disore hari.

Setelah berhasil mencuri keramik dan menyembunyikannya di dekat sumur, hati ku tak keruan menunggu sore hari untuk menjualnya. “Yang penting  malam ini ibu bisa minum obat”, tekadku bulat. Setelah menjual keramik segera ku berlari menuju apotek dengan membawa resep obat dokter untuk menebus obat ibu, sesampainya aku dirumah aku melihat ibu tergeletak dilantai dengan darah yang keluar dari mulutnya.

“Ibu ..... Ibu ... Ibu! Apa yang terjadi bu?”

Segera ku gendong dan kubawa ibuku menuju klinik terdekat. Dan ternyata ibuku tak tertolong, dokter mengatakan ibuku terkena komplikasi hati. Dunia ku serasa berhenti, aku merasa sedang melayang dan kepalaku pusing, tiba-tiba penglihatanku kelam. Aku pingsan mendengar kenyataan bahwa ibuku telah tiada, maafkan aku ibu sebagai anak aku tak mampu mengobatimu. Aku terlalu terlambat untuk menebus obatmu, dan obat ini tak ada gunanya lagi. Lebih baik aku menyusulmu, biarlah dosa mencuri keramik masjid ini kupertangungjawabkan pada Allah. Selamat tinggal.

“Bruk!”

Aku terjatuh dari tidurku, dan melihat sekeliling. Tak ada ibu, yang ada hanyalah ruang putih berjeruji dengan sebuah ranjang yang memiliki tali pengikat di bagian kepala dan kaki. Seorang dokter datang menghampiriku dengan tersenyum.

“Apa kabar pak Ammar?”

Aku ketakutan, aku ingin kabur tapi dengan sigap ia mencengkeram tanganku. Kulihat lagi Name tag di jas dokter itu.

“Dokter spesialis kejiwaan”.

Comments

Popular Posts