#Day18 : Rasa Bersalah itu Menghantui
Sajadah masih
terbentang, ayat suci masih dilantunkan. Kulirik jam dinding yang menunjukkan
jam dua dini hari. Aku beringsut dari tidurku dan segera mengambil wudhu untuk
sholat tahajud. Setelah selesai sholat mbak Tri meraih tanganku.
āNdok, mbak titip
Ammar yaā
āMbak ngomong apa
sih, emangnya mbak mau kemana?ā
āRasanya penyakit
mbakmu ini gak ada cara lain lagi mengobatinya. Mbak bukannya menyerah untuk
berobat, tapi lebih baik uangnya disimpan untuk keperluan Ammarā
āMbak .....ā
āNdok, mbak minta
tolong sekali ini saja sama kamu. Tolong jagain Ammar ya kalau mbak gak adaā
āMbak! Udah ahā
Emir,
menggoncangkan tubuhku. Aku terbangun. Sudah kali kedua mimpi itu datang lagi. Ya,
pesan Mbak tri empat tahun yang lalu padaku. Kini menghantuiku seperti rasa
penyesalanku karena tak menjaganya semenjak Mbak Tri tiada. āMaafkan ibuk Marā,
ucapku lirih.
Pukul lima subuh,
kami sampai di Bangko. Kakiku terasa berat untuk melangkah. Berat antara takut
akan kenyataan jika benar Ammar tidak selamat. Tiba-tiba Emir menggenggam
tanganku erat.
āBuk, insyaallah
abang Amar selamatā
Aku mengangguk,
kudatangi kantor polisi Bangko dan melaporkan kehilangan Ammar.
Hari itu, antara
percaya dan tidak. Mereka bilang menemukan sesosok mayat berusia 20an korban kecelakan kemarin sore dan aku
tak punya keberanian untuk memastikan bahwa mayat itu adalah Ammar atau bukan.
Comments
Post a Comment