Day 6 : Renjana untuk Syahidan
Sebuah Keyakinan Bagian Dua
Saat Iren
mengetahui siapa sosok yang baru saja turun dari mobil ayahnya, bukannya
mengucapkan salam atau mempersilahkan tamu masuk ia malah kabur seperti melihat
setan. Idan yang terlihat sangat sumringah karena setelah 6 tahun lamanya ia akan
bertemu kembali dengan Iren dibuat terbengong-bengong karena tingkahnya. Ayah Iren
yang sudah mengerti akan kelakuan ajaib anak perempuannya hanya tertawa
terpingkal-pingkal.
“Iren kenapa Pak?” Tanya Idan kebingungan.
“Dia malu karena gak pake jilbab pas ada tamu, makanya
langsung kabur seperti orang kesetanan.” Jelas Ayah Iren masih sambil tertawa.
“Oh, gitu ya Pak. Gadis yang solehah.” Imbuh Idan.
“Tentu dong, anak gadis siapa dulu ...” Ayah Iren
menyombongkan diri. “Ayo masuk Nak Idan, jangan malu-malu, anggap saja rumah
sendiri.” Ajak Ayah Iren.
Setelah dipersilahkan masuk Idan diantar Ayah Iren ke
sebuah kamar tamu untuk beristirahat dan bersih-bersih. Setelah setengah jam membersihkan
diri dan membereskan pakaiannya Ayah
Iren memanggil Idan untuk makan malam pecel lele yang mereka beli di luar
komplek. Saat Idan masuk ke ruang makan di sana sudah ada Iren dengan pakaian
tertutup aurat dengan jilbab terpasang rapi menghiasi wajahnya yang sangat
manis. Iren sedang menyiapkan pecel lele yang akan mereka santap malam itu,
mata mereka hanya beradu pandang sepersekian detik lalu saling tersipu malu.
“Ayo Nak Idan silahkan duduk, kita makan malam yang sudah
malam banget ya, tapi ndak apa-apa lebih baik terlambat dari pada tidak sama
sekali.” Ajak dan canda Ayah Iren.
“Iya Pak.” Jawab Idan sungkan.
“Ayo Ren, ditawari makan Bang Idannya, jangan didiemin
gitu dong nak.” Tegur Ayah Iren.
“Eh, ayo Bang, silahkan dimakan pecel lele yang bukan
buatan Iren ini.” Tawar Iren sambil cengengesan.
“Apa sih kamu Ren, gak dikasih tau juga Nak Idan tau
pecel lele ini bukan kamu yang bikin, kan kamu gak bisa masak.” Ledek Ayah Iren
lagi.
“Ih, Ayah kok buka-buka aib Iren sih, kan malu.” Gerutu Iren.
“Biarin, biar Nak Idan tau kalau kamu gak bisa masak dan
mikir dua kali mau menjadikan kamu istri.” Jawab Ayah masih sambil bercanda.
“Loh, Ayah kok tau masalah ....”
“Udah, udah ngobrolnya, kita makan dulu nanti baru kita
bahas semuanya pelan-pelan.” Sela Ayah Iren.
Makan malam saat itu sangat hening karena hanya dentingan sendok dan piring yang
saling beradu di meja makan, mereka semua sibuk dengan suapan dan pikiran
masing-masing. Setelah selesai makan Ayah Iren mengajak Idan ke ruang tamu,
membiarkan Iren membereskan meja makan dan cucian piringnya, setelah selesai
dengan pekerjaan dapur Iren bergabung dengan Ayah dan Idan. Tanpa basa basi
Ayah Iren langsung membuka percakapan saat Iren sudah bergabung bersama mereka
di ruang tamu.
“Jadi Ren,
saat Ayah pulang ke desa, Ayah dan mamaknya Idan datang melamar kamu untuk
Idan. Tapi Ayah tidak bisa memberikan keputusan kepada orang tua Idan karena
keputusan ini ada pada Iren. Iren lah yang berhak memutuskan apakah mau
menerima pinangan Idan atau tidak. Ayah tidak bisa memaksa karena nantinya Iren
yang akan menjalani kehidupan rumah tangga bersama Idan.” Jelas Ayah Iren.
“Iren tidak
bisa memutuskan Yah, karena Ridho Ayah yang paling utama bagi Iren. Jika Ayah
ridho insyaallah, Allah juga ridho.” Jawab Iren.
“Abang akan
menerima keputusan Iren maupun Bapak, apapun itu keputusannya. Idan akan
berbesar hati jika Iren dan keluarga tidak menerima pinangan Idan.” Jelas Idan.
Iren menatap
mata Idan, ada kesungguhan dan keyakinan dalam matanya yang teduh. Lalu ia
menatap Ayahnya dan memberikan kode untuk berbicara empat mata. Ayah Iren
memahami kode tersebut lalu mohon pamit pada Idan untuk berbicara dengan
putrinya.
“Menurut
Ayah bagaimana? Iren masih bingung.” Ujar Iren meragu.
“Jika Iren
menerima pinangan Nak Idan Ayah akan sangat bahagia, karena Abang Mirza, Ayah
Idan adalah teman Ayah waktu sekolah dulu. Ia datang dari keluarga baik-baik,
Ayah sangat mengenal baik keluarganya. Satu hal lagi, Ayah tak mau kamu
dilangkahi adikmu. Masih ingat sebulan yang lalu Ayah dibuat syok oleh adikmu
Dinda yang minta menikah dengan Fauzi, pria yang tak jelas dari mana asalnya.”
Jelas Ayah Iren.
“Tapi,
kuliah Iren gimana Yah?” Jawab Iren lagi.
“Insyaallah,
Idan anak yang bertanggung jawab, lagi pula kamu kan sudah di semester akhir
tinggal skripsi. Insyaallah, Ayah yakin kamu pasti bisa menyelesaikan kuliah
kamu sekaligus membahagiakan Ayah dengan menerima pinangan Nak Idan.” Tutur
Ayahnya lagi.
Iren menatap
dalam-dalam mata Ayahnya, ada harapan besar pada wajah Ayahnya. Selama ini Ayah
Iren selalu mengikuti kemauan anaknya selagi itu hal yang baik, dan baru kali
ini Ayahnya membuat sebuah permintaan pada Iren. Dari balik pintu, ia mencuri
pandang melihat wajah Idan yang penuh harapan bisa meminangnya, ia melihat
tekad yang besar dalam diri Idan sehingga bisa sampai di Bekasi hanya untuk
mendengar jawaban darinya. Dan jauh dibalik hatinya, Iren merasakan debaran
yang cukup kencang saat mata mereka beradu pandang dari balik celah pintu...
Bersambung ...
Comments
Post a Comment