Day 58 : Tetesan Hujan Imi

       


     Gadis itu tampak senang, dari raut wajahnya seulas senyum menghiasi. Ia celingak-celinguk, memastikan ibuk tak berada disekitarnya. Sore itu langit tampak muram, perlahan tetesan air hujan berjatuhan, semakin lama semakin deras, menyirami tanah yang sejak siang tadi kepanasan. 

            Namanya Ireumi, gadis berusia 7 tahun itu sangat suka hujan, ia akan segera berlari karena kesenangan bermandikan hujan. Seperti sore ini, langit seolah memberikan kode bahwa air hujan akan segera terjun bebas membasahi bumi. Ibuk selalu berkata bahwa tidak baik mandi hujan karena bisa menyebabkan demam. Herannya Imi tak pernah demam setiap kali mandi hujan. 

            "Buk, Imi penasaran, kok bisa langit mengeluarkan air hujan? Padahal gak ada sumber air di atas sana seperti air sumur sebagai sumber air di rumah kita. " tanya Imi suatu hari. 

            Ibuk tampak terkejut dengan pertanyaan Imi, meskipun ia masih berusia 7 tahun namun Imi cukup kritis dalam bertanya. Cepat-cepat  Ibuk membuka youtube dan mencari video singkat dan mudah dipahami anaknya mengenai proses terjadinya hujan. Lalu ibuk menyodorkan androidnya pada Imi yang langsung disambut seulas senyum tanda rasa penasarannya akan segera terjawab melalui video tersebut.

            "Gimana Mi? sudah tahu proses terjadinya hujan itu bagaimana?" selidik ibuk setelah beberapa menit berlalu.

            Imi mengangguk dengan mantap, "Lalu, setelah mereka jatuh ke bumi, air hujan kemana lagi Buk?" tanya Imi masih penasaran.

            "Macam-macam Mi, ada yang masuk kedalam tanah, ada yang kembali ke sungai, danau, lautan, lalu mereka mengulangi lagi proses tersebut." jelas ibuk.

            "Maksud Ibuk, mereka menjadi uap lagi karena sinar matahari lalu menjadi awan dan berpindah ke daerah yang dingin oleh angin dan jatuh ke bumi?" tanya Imi memastikan.

            "Masya Allah, dulu waktu hamil kamu Ibuk ngidam apa ya kok bisa pinter gini anak Ibuk?" ibuk mengelus kepala anak gadis mungil yang tersenyum dan bergelendotan di pangkuannya. 

            Sudah sekitar 5 menit Imi melompat-lompat kegirangan di bawah derasnya air hujan sore itu, ibuk tak juga terdengar memanggilnya. Biasanya ibuk akan segera mencarinya ketika hujan karena ia tahu anaknya akan segera berlari bermain hujan. Imi memejamkan matanya lalu berputar-putar di halaman belakang rumahnya, dalam hati ia berkata, "Imi, sore ini akan berpetualang menjadi tetesan hujan." 

            Tiba-tiba sebuah kilat menyambar tubuh Imi, kini ia tak berwujud sebagai manusia lagi tetapi setetes air hujan yang melompat-lompat dari atas langit menuju sebuah sungai. Ia membiarkan dirinya terbawa aliran sungai, dengan girang ia melihat ke arah kiri dan kanan yang juga terdapat beberapa tetesan hujan yang ikut hanyut bersamanya.

            "Hai, namaku Imi!"

            "Oh, Hai ... kamu sepertinya anak baru ya?"

            "Iya, kita mau kemana?"

            "Laut, nanti kamu akan bertemu dengan banyak tetesan hujan. Saat matahari terik kita akan menguap dan ... "

            "Menjadi awan kan? Imi tahu."

            "Ternyata kamu pintar juga. Nah, kita hampir sampai. Pegang tanganku kuat-kuat ya."

            "Baik."

            Imi dan teman barunya melompat ke arah laut dan berhamburan bersama tetesan hujan lainnya. Benar saja, cuaca saat itu sangat terik sehingga Imi dan tetesan hujan lainnya berterbangan menguap menjadi awan dan berarak ke tempat yang cukup dingin karena hembusan angin.

            "Wah, di sini terasa sejuk ya... beda dengan yang tadi."

            "Jika sudah berdesak-desakan awan ini tak akan mampu menahan kita Mi, sebentar lagi kita akan segera jatuh ke bumi."

            "Benarkah?"

            "Iya. Kamu siap?"

            "Iya, eh itu rumah Imi. Itu Ibuk sedang mengangkat jemuran. Ibuk ...!"

            "Percuma Mi, Ibumu tidak akan bisa mendengar."

            "Masa sih? Ibuk ... Ibuk ... Ibuk ...!"

            Benar saja, ibuk Imi tak mendengar teriakannya sama sekali yang membuat Imi sedih.

            "Ibuk, Ini Imi ... Imi gak mau lagi jadi tetesan hujan ... Ibuk ... Imi mau sama Ibuk."

            "Imi ... bangun sayang, Imi ... kamu kenapa?"

            Imi membuka mata dan langsung memeluk Ibuk.

            "Jadi Imi cuma mimpi Buk? Alhamdulillah ..."

            "Nah, kan Ibuk sudah sering bilang kalau tidak baik tidur sore menjelang magrib. Jadi mimpi yang aneh-aneh kan ..."

            "Iya ... maafin Imi ya Buk."

            "Ya sudah, cuci muka dan langsung ambil air wudhu, sudah masuk waktu magrib."

            Imi bergegas menuruti perintah ibuk dan merasa bersyukur apa yang ia alami adalah mimpi. Ia tak bisa bayangkan jika ia tak bisa bertemu dengan Ibunya lagi. Petualangannya menjadi tetesan air sungguh menakjubkan, namun tiada hal yang paling menakjubkan selain bisa bersama Ibunya tercinta. 

            

Comments

Popular Posts