Sesalku

     


 

   Angin sejuk menyesap masuk melalui sela-sela kayu jendela, merambat melalui dinding dan lantai kamar mandi yang kaku, hingga menusuk kulit Naya pagi itu. Tak hanya kulitnya yang tertusuk, tapi juga hatinya. Ia mematung memandangi sebuah benda pipih dengan sebuah garis merah. Ia mengernyitkan alisnya tanda bukan garis  itu yang diharapkan. Ya, Naya telah bertahun-tahun menanti buah hatinya dengan Pras, namun setelah 10 tahun menikah, mereka belum juga diberikan keturunan. Sebuah dentingan pertanda sebuah pesan masuk melalui telepon pintarnya.


          "Gimana hasilnya Nay?" isi pesan itu. 


          Dengan gusar ia memotret hasil test pack dan mengirimkan foto tersebut pada si pengirim pesan. 


          Tak berapa lama, sebuah panggilan masuk membuyarkan hati Naya yang sedang kalut. Ia mengabaikan panggilan itu hingga berhenti. Lalu, panggilan lainnya kembali berdering. Akhirnya Naya mengangkat panggilan tersebut. 


          "Kamu kan tahu aku paling gak suka ditelepon jika perasaanku sedang kalut, kamu gak pernah mengerti ya Mas? Percuma pernikahan kita sudah 10 tahun tapi kamu gak pernah sedikitpun memahami aku." cecar Naya tanpa salam dan basa-basi. 


     "Assalamualaikum Nay, maaf Mas meneleponmu pagi ini, Mas tahu perasaanmu saat ini. Justru Mas khawatir kamu akan sedih sendirian, makanya Mas telepon untuk menunjukkan bahwa mas akan selalu ada untuk kamu. Kerjaan Mas hari ini selesai, Mas akan langsung pulang. Nanti Mas bawakan makanan kesukaanmu." jawab Pras dengan lembut. 


    Naya terdiam, ia membungkam mulutnya namun derai air mata membasahi kedua kelopak matanya. 


          "Nay, kita harus sabar dan terus berusaha ya? Semoga suatu hari nanti doa dan harapan kita akan terkabul." lanjut Pras. 


      "Semua kata-katamu hanya membuatku semakin terluka Mas. Jika saja kamu tak pernah menikahiku, mungkin kamu akan lebih bahagia menimang buah hatimu. Nasib sial menimpamu dengan menikahiku yang tak kunjung memberikanmu keturunan." Sesal Naya. 


          Klik. Naya memutus pembicaraan. Pras terlalu baik dan terlalu sempurna baginya. Kebaikannya malah membuat Naya semakin merasa bersalah. Hatinya hancur seperti repihan es salju tipis di antartika. Ketika satu-satunya hal yang mungkin bisa menyelamatkan kebahagiaannya tak kunjung hadir.


          Panggilan masuk dari Pras memenuhi kamar mandi Naya, ia mengabaikan panggilan itu dan lebih memilih meluapkan emosi dan kesedihannya dengan menyesali atas nasib sial yang telah ia bawa dalam kehidupan Pras. Berkali-kali ia memukuli dadanya yang terasa sesak. Ia berandai-andai, jika saja ia tak menerima pinangan Pras, mungkin setidaknya ia tak membawa kesialan dalam hidup pria baik yang selama 10 tahun ini masih bertahan mendampinginya. Akhirnya sebuah pesan masuk dan Naya memutuskan untuk membacanya dengan wajah sembab. 


          "Nay, jangan kekanak-kanakan. Kamu semakin membuatku khawatir. Kita sudah pernah bahas ini dan jawabanku tetap sama. Jika harus memilih mengulangi masa lalu aku akan tetap memilihmu. Kamu harus ingat perkataanku." Pras mengirimi pesan karena Naya tak kunjung mengangkat teleponnya.


         Naya membenamkan wajahnya dengan kedua tangannya, dan berbisik lirih. "Ya, Allah ... Izinkan aku kembali ke masa lalu dan mengubah nasib sial yang menimpa pria baik ini. Setidaknya berikan aku kesempatan untuk membahagiakannya dengan tidak menikahinya. Ia pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku."


        Tiba-tiba lampu kamar mandi berkedip dengan ritme perlahan. Naya merasa kepalanya pusing dan tiba-tiba mendadak Gelap. 


Bersambung ... 



Comments

Popular Posts